MAKNA LIVING SUNAH KE LIVING HADITS

Beberapa kajian atas hadits pada dasarnya memiliki tujuan agar mampu mendudukkan pemahaman terhadap hadits pada tempat yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal, temporal, situasional maupun local. Karena bagaimanapun juga pemahaman yang kaku, radikal dan statis sama artinya dengan menutup keberadaan islam yang sâlih likulli zamân wa al-makân.
Dalam memberi makna sunnah dan hadits ulama mutaqaddimûn berbeda dengan ulama mutaakhkhirun. Hadits menurut ulama mutaqaddimûn adalah segala perkataan, perbuatan atau ketetapan yang disandarkan kepada Nabi pasca kenabian, sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang diambil dari Nabi. Ulama mutaakhkhirûn mendefinisikan bahwa sunnah dan hadits adalah dua hal yang sama yaitu segala ucapan, perbuatan atau ketetapan Nabi.

SUNNAH YANG HIDUP
Setelah Nabi wafat, sunnah Nabi merupakan suatu hal yang sangat ideal yang harus diikuti oleh para generasi muslim sesudahnya, dengan menafsirkan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan mereka. Penafsiran mereka yang kontinyu dan progressif inilah yang disebut dengan “sunnah yang hidup” atau living sunnah.
Living sunnah yang mereka terapakan sebenarnya adalah mirip dengan ijma’ ulama waktu itu. Mereka berusaha menemukan ruh dari hadits yang berkaitan dengan masalah yang ingin mereka cari penyelesaiannya.
Contoh :
Pada zaman Nabi, beliau melarang siapapun menangkap unta yang terlepas, ketika ditanyakan, belaiu menjawab :
Hadis riwayat Zaid Bin Khalid Al-Juhani, ia berkata: Seorang lelaki datang kepada Nabi untuk bertanya tentang barang temuan. Rasulullah bersabda: Kenalilah wadah dan talinya, lalu umumkanlah setahun, jika pemiliknya datang, maka berikanlah. Kalau tidak, maka terserah kepadamu. Orang itu bertanya lagi: Bagaimana kalau temuan itu berupa kambing? Rasulullah bersabda: Untukmu atau untuk saudaramu atau untuk serigala (berarti boleh diambil). Orang itu kembali bertanya: Bagaimana jika temuan itu berupa unta? Rasulullah bersabda: Apa pedulimu terhadapnya? Dia (unta itu) sudah membawa wadah air dan sepatunya sendiri (kuat menahan dahaga beberapa hari dan kuat berjalan). Dia dapat datang ke tempat air dan memakan pepohonan sampai ditemukan oleh pemiliknya. (Shahih Muslim No.3247)

Apa yang dilakukan Rasulullah ini sampai kepada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, namun sampai kepada sahabat Usman, kebijakan ini diubah dengan menangkapnya dan menjualnya. Bila pemiliknya datang maka uang hasil jualan tersebut diserahkan.
“….di zaman Umar bin al- Khattab, unta-unta yang tersesat dibiarkan berkeliaran dan beranak pinak sendiri, tidak seorangpun menyentuhnya. Sampai ketika masa Usman, ia memerintahkan agar unta-unta itu ditangkap kemudian diumumkan didepan umum ( untuk mengetahui siapa pemiliknya ) kemudian dijual. Kemudian apabila pemiliknya datang maka diberikanlah harganya.”
Disaat manusia telah beruabh sikapnya, dari menjaga amanat menjadi berkhianat dan dari menjaga diri dari hak orang lain, maka tindakan membiarkan unta-unta yang tersesat berkeliaran sama saja dengan membiarkan pamiliknya mengalami kerugian. Oleh karenanya merupakan keharusan untuk mencegah madharat yang diperkirakan akan terjadi.
Ali bin Abi Thalib sebagai salah satu dari sahabat senior menyetujui apa yang dilakukan oleh Usman tersebut. Bahkan beliau melakukan perbaikan kebijakan tersebut dengan mengusulkan bahwa menjual unta mungkin saja bisa merugikan pemiliknya karena harganya yang menurun. Maka yang lebih baik setelah ditangkap adalah dengan memeliharanya dengan yang Negara ( bait al-mâl ) sampai pemiliknya mengambil.

LIVING HADITS
Living sunnah kemudian berkembang dengan pesat seiring dengan berkembangnya Imperium Besar Islam. Perbedaan dalam praktek diantara mereka menjadi semakin besar meski dalam memahami satu hadits. Maka kemudian dirasa perlu adabnya formalisasi sunnah Nabi.
Jarak yang lama antara Nabi, sahabat bahkan pengikut yang berikutnya akan kehilangan otoritatif sebagai pegangan utama dan referensi hukum mereka jika sunnah tidak dikanonisasi. Sehingga tidak terjadi campur baur antara sunnah yang memang berasal dari Nabi dan yang bukan.
Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh Al-Syafi’I memberikan persyaratan yang ketat terkait dengan sunnah ini : “konsep sunnah hanya mencakup sunnah Rasulullah saja”. Konsekuensinya dalam perkembangan selanjutnya pemilahan terhadap berbagai cerita dan laporan dilakukan dengan ketat, siapapun harus bisa membuktikan bahwa ini benar-benar berasal dari Nabi.
Mahmud Rayyah juga menolak komentar para sahabat terhadap tradisi Nabi yang disertai beberapa tambahan. Menurutnya ini sudah tidak asli lagi.
Proses formalisasi “sunnah yang hidup” ini merupakan sebuah keberhasilan tersendiri, karena diakui atau tidak bahwa tranformasi dari “sunnah yang hidup” ke “konunikasi hadits” telah melawati tiga generasi yaitu sahabat, tabi’in dan tabi tabi’in. itu artinya telah terbentuk rantaian periwayatan, namun demikian masih bisa dilakukan.
Namun formalisasi hadits ini pada hakikatnya juga menghaendaki untuk ditafsirkan untuk menghadapi situasi dan problem baru. Dengan demikian hadits akan tetap dinamis, mungkin inilah yang disebut “living hadits”.
Kita juga tidak akan mampu melakukan dinamisasi hadits tanpa memahami sisi historitas sebuah hadits. Ini mutlak diperlukan, agar jiwa yang terkandung dalam teks hadits tersebut tetap kita pahami dan kita pegang.
Akhirnya, hadits sebagai hasil formulasi (perumusan) karena mencerminkan “sunnah yang hidup” dan “sunnah yang hidup” bukanlah pemalsuan, tetapi penafsiran dan formulasi yang progresif terhadap sunnah Nabi. Yang harus kita lakukan pada masa sekarang ini adalah menuangkan hadits ke daam “sunnah yang hidup” berdasarkan penafsiran historis sehingga dapat menyimpulkan norma-norma untuk diri kita sendiri.


Resume Makna Living Sunah Ke Living Hadits
Suryadi

Posted by get article now on 06.47. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0

0 komentar for MAKNA LIVING SUNAH KE LIVING HADITS

Leave comment

dailyvid

FLICKR PHOTO STREAM

2010 BlogNews Magazine. All Rights Reserved. - Designed by SimplexDesign